'Ngulik' Uniknya Mie Lethek Makanan Khas Bantul


Sabtu, 26 Maret 2017. Motor beat merah jambu sudah siap menjemput tepat didepan pintu, hari itu saya memang sudah janji dengan salah satu teman untuk pergi ke tempat pembuatan mie tradisional di kawasan Bantul, Yogyakarta. Kurang lebih pukul 10.00 WIB saya mendaratkan kaki di sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Gonggongan anjing jenis bulldog menyapa saya ketika memarkirkan kendaraan persis disebelah kandang bertulis “awas anjing galak” itu. Sesaat kemudian sapaan hangat terdengar dari kejauhan, nampak laki-laki berkaos merah maron menyapa saya dan teman saya dengan bahasa jawa krama. Saya pun membalas dengan senyuman hangat.

Percakapan kecil kami dimulai, sampai seorang ibu yang kira-kira seumuran dengan nenek saya ikut serta dalam pembicaraan, namanya ibu Judi Mulyono. Dikenal sebagai pemilik pembuatan mie tradisional, masyarakat biasa menyebutnya Mie Lethek. Mie yang berarti “mie kotor” ini adalah salah satu makanan yang cukup familiar bagi masyarakat Bantul, Yogyakarta. Kalau dilihat dari bentuknya banyak yang meragukan apakah mie ini layak untuk dimakan atau tidak. Namun, apabila disajikan mie lethek ini tidak kalah rasanya dengan mie yang terjual dipasaran pada umumnya. 

Mie lethek ini dikelola lagi sejak tahun 2000-an setelah beberapa tahun sebelum sudah dikelola oleh pihak keluarga lainnya, mie ini menyimpan cerita tersendiri dibalik bentuknya yang unik. “kami sekeluarga beri nama mie lethek “busur panah”, di Bantul sendiri hanya ada dua pabrik pembuatan mie lethek, dan ini juga salah satu warisan dari keluarga yang sudah turun-temurun” Tutur bu Judi
Sembari berjalan menuju depan pintu masuk pabrik pembuatan, langkah kaki saya terhenti sejenak karena kaget dengan binatang yang ada di dalam pabrik mie lethek milik bu Judi. Bukan hanya dari segi penampilan yang beda dengan mie pada umumnya, namun dari proses pembuatannya sendiri mie ini masih terbilang sangat unik. Lain halnya dengan mie yang dikelola di pabrik yang menggunakan alat-alat canggih didalamnya, namun mie lethek ini masih menggunakan binatang sebagai alat bantu pekerja. Sapi jenis benggolo ikut turut serta dalam pembuatan mie yang khas dengan warnanya yang hitam itu. Sapi tersebut digunakan untuk membantu pekerja menggiling bahan-bahan untuk pembuatan.

Proses pengolahan mie lethek dengan bantuan hewan ternak
“Bahan-bahannya tidak banyak, hanya menggunakan tepung tapioka, beras dan tepung gaplek. Kemudian habis di giling dimasukkan kedalam wadah untuk dilangseng (dimasak), beberapa menit kemudian baru diangkat dan dipindah ke wadah untuk dislender disitulah proses pemasukan tepung tapioka dimulai. Setelah rata dan tercampur dengan tepung, kemudian mie siap untuk dibentuk ditempat penggilingan mie, kemudian apabila sudah berbentuk mie kriting-kriting, mie harus masuk proses langseng untuk kedua kalinya agar hasilnya dapat lebih memuaskan. Baru setelah itu masuk ke proses pemilihan kwalitas mie yang baik dan tahap selanjutnya yaitu penjemuran yang dilakukan selama dua hari satu malam. Apabila mie sudah kering maka tahap akhir ada dipengemasan dan pendistribusian”. Jelas ibu Judi sambil menunjukkan kepada saya tempat-tempat penggolahan mie lethek itu.
Penjemuran mie lethek yang telah melalui beberapa tahapan

Beberapa menit kemudian percakapan saya dengan bu Judi terhenti lantaran salah satu karyawan beliau memberikan dua gelas teh manis kepada saya dan teman saya. Tanpa ragu, saya pun langsung meneguk teh manis yang kebetulan sedari tadi sudah menahan dahaga. Usai itu, Bu Judi menunjukkan kepada saya kandang sapi yang digunakan untuk membantu pengolahan mie lethek miliknya tersebut. Ada tiga ekor sapi jenis benggolo yang terdapat di kandang persis di samping pabrik. Punuk yang besar menandakan betapa kuatnya sapi itu mengangkat kayu untuk penggilingan. 

“Sapi-sapi ini digunakan semuanya setiap hari, namun secara bergiliran. Apabila sapi satu sudah terlalu lama dan langkahnya lamban ketika proses penggilingan, maka kami memutuskan untuk istirahat dan memberinya makan lalu mengganti dengan sapi kedua untuk melanjutkan penggilingan.” Terang pak Rayo. Pak Rayo biasa orang memanggilnya. Beliau adalah salah satu karyawan setia bu Judi, satu tahun lebih beliau sudah bekerja sebagai penggiling di pabrik mie lethek milik bu Judi. Karyawan disana memang mayoritas laki-laki, hanya ada satu dua yang perempuan. Satu jam kurang lebih saya berkeliling untuk melihat sekeliling pabrik dan bertanya-tanya dengan pemiliknya langsung.

Saya puas dengan perjalanan saya mengunjungi pabrik mie lethek yang bertempat di sudut kota Yogyakarta itu, bagi saya adalah sebuah pengalaman yang tidak ternilai. Walau saya masih belum bisa membagikan kepuasan saya kepada semua orang, namun saya rasa dengan menceritakan melalui sebuah tulisan, pengalaman saya sudah sedikit membantu untuk sebuah informasi baru. “Akan ada cerita saat perjalanan menuju kepuasan”



Komentar

Postingan Populer