Menunggu Ibu

Seperti biasa, saya mengawali hari layaknya manusia pada umumnya. Bangun pagi untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, kemudian membuka teman pintar saya untuk sekedar memeriksa apakah jadwal hari ini menguras waktu atau sebaliknya, sebelum akhirnya memutuskan kembali membaringkan badan ketempat tidur didalam kamar kontrakan yang berukuran 3x4 meter persegi. Lengkap dengan segala khayalan dikepala, sembari mengumpulkan nyawa untuk beranjak dari tempat tidur, saya kembali mengingat-ingat apa saja yang sudah saya lakukan diawal tahun 2018. 

Saya memulai dari bulan Februari, bulan kedua diawal tahun yang sangat menarik menurut saya. Terkadang saya terlalu sibuk dengan segala rutinitas sana sini sehingga melupakan apa saja yang terjadi hari ini dimulai dengan hal sederhana yang remeh-temeh. Saya mulai menyadari bahwa saya meninggalkan fase-fase itu, ketika saya pulang beberapa waktu lalu saat liburan dan tanpa sengaja bapak saya memberikan wejangan kepada saya perihal hal-hal yang diluar nalar saya pikirkan.

Maret, bulan ketiga tahun 2018 yang membuat saya merasa lelah mengerjakan segala kegiatan baik dalam maupun luar kampus. Bulan dimana saya banyak menunda untuk menulis blog. Bulan dimana saya dikejar deadline yang menuntut harus dituntaskan segera. Pun bulan yang mengajarkan saya banyak hal, dari kecewa hingga bahagia. Disamping itu, saya masih ingin menikmatinya seraya berdoa.

Hingga detik saya menuliskan blog ini, bulan April. Bulan yang penuh harapan, yang selalu setia dan senantiasa berdoa. Teman, mungkin kalau ada yang membaca tulisan blog saya kali ini barangkali ada juga yang membaca tulisan curahan hati yang sempat saya posting di laman line pribadi saya. Kira-kira bulan Januari kemarin saya menulisnya. Tulisan yang menerangkan betapa beruntungnya saya memiliki rumah yang siap menampung segala rasa ketika saya pulang, tempat saya berbagi segala peluh ketika saya mengeluh dan tempat ketika bahasa sudah terlalu melipat dan meliuk untuk diartikan. 

Niat awal mula menulis tulisan blog edisi ini adalah tentang perjalanan saya menelusuri kali beberapa waktu silam, namun besar keinginan saya untuk menulis di blog ini dengan isian seputar perasaan dan cerita kehidupan saya untuk dibagikan kepada orang lain. Barangkali ada yang berniat membaca atau syukur-syukur terinspirasi, walaupun sejujurnya saya memang bukan orang yang menginspirasi. 

Satu bulan yang lalu saya merampungkan sebuah buku novel best seller karangan Leila S. Chudori berjudul "Laut Bercerita". Satu novel yang berhasil membuat saya gedeg-gedeg kepala ketika membacanya. Kalau boleh review sebentar seputar novel tersebut, saya ingin menyematkan kalimat "Gila" disetiap bait-bait kata yang dirangkai oleh sang penulis demi terciptanya sebuah cerita fiksi yang menarik hati para pecinta buku saat ini. Ulasan cermat yang disuguhkan kemudian data-data yang disajikan membuat saya jatuh hati. Sebagai mahasiswa tentu saya merekomendasikan kepada teman-teman sekalian untuk membaca novel yang saat ini film pendeknya tengah menjadi bahan diskusi dan pemutarannya juga sudah banyak dilakukan di kota-kota besar di Indonesia tersebut.

Berbicara masalah buku, saya termasuk orang yang suka mengoleksi buku sedari saya masih kecil, diawali dari bapak dan ibu yang selalu rajin membelikan buku untuk saya menular sampai saat ini.  Sebagai pembaca pastinya saya pun punya imajinasi sendiri untuk menciptakan tokoh-tokoh dibalik buku yang saya baca. Begitu pun tentang si Biru Laut.

Saya jadi teringat sewaktu ibu sering membelikan buku untuk saya dulu. Berawal dari buku komik, buku-buku pelajaran, novel sampai buku-buku biografi. Mungkin sekarang genre buku bacaan saya sudah sedikit berubah, ya seiring bertambahnya usia pastinya hal tersebut sangat mempengaruhi. "Semakin Besar Semakin Berubah" salah satu kutipan buku yang pernah saya baca dan saya yakini ada benarnya kutipan tersebut tertulis.

Dari hal sederhana saja memilih genre buku yang dibaca kita bisa mengalami perubahan, apalagi hal yang dirasa lebih complicated pastilah berubah itu sudah menjadi hal yang lumrah. Sewaktu dulu saya selalu menunggu ibu untuk membelikan apa saja yang saya mau. Setelah menjadi perantau hal tersebut mengubah segala yang saya rasa berkaitan dengan kata "menunggu". Sadar atau tidak sadar menunggu itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Menurut saya, menunggu itu bukan persoalan waktu dan bilangan namun perkara kesiapan. Kesiapan kita menanti sesuatu yang harus ditunggu akan datang, tinggal atau bahkan hilang. Kesiapan kita menjawab iya atau tidak. Kesiapan kita mendapatkan hasil yang memuaskan atau malah memuakkan. Kesiapan kita menerima suara-suara sumbang diluar sana yang mungkin bisa memecah gendang telingga. Dan perkara kesiapan-kesiapan lainnya yang mungkin belum saya jabarkan pada tulisan saya kali ini.

Teman, kalau boleh bercerita. Setelah saya merampungkan buku Biru Laut pemberian ibu beberapa waktu silam saya juga mengalami nikmatnya menunggu. Menunggu banyak hal yang saya harapkan, mulai dari derap langkah kaki yang menghampiri sampai matahari yang terbit pagi hari. Menunggu sesuatu yang menyukai senja di sore hari. Menunggu yang menyukai kopi pahit untuk dinikmati. Menunggu yang memainkan gitar untuk saling berbagi suara saat bernyanyi. Kala itu ibu memberikan buku yang tepat sekali, buku perihal menunggu sesuatu yang tidak kunjung datang. Ada sesuatu yang harus digarisbawahi dari sebuah cerita. Buku Laut Bercerita mengikhlaskan sesuatu yang ditunggu hingga berlalu-lalu hilang begitu saja, sesuatu yang dinanti tapi tidak kembali. Bersahabat dengan situasi seperti itu bukan sesuatu hal yang mudah. Sekalipun ingin diri memberontak untuk mencari, namun ada banyak kemungkinan yang didapat dari ketidakpastian. Segalanya mungkin saja terjadi. Saya pun begitu, segala yang saya harap awalnya menyenangkan untuk dinikmati. Namun, apabila sang maha sutradara sudah berkehendak kita sebagai manusia bisa apa selain menerima. Menunggu itu bukan hal yang memalukan, selagi kita menjalani aktivitas seperti biasa tanpa mengubah segala yang pernah ada. Saya rasa boleh kita menunggu sesuatu sampai pada saatnya jawaban itu semesta berikan.

Jangan salah sangka perihal tulisan menunggu ibu. Selagi ada kisah yang baik untuk diberikan kenapa harus menunggu nanti. Selamat membaca wahai sang penunggu ibu.

- Edisi Pertama Tulisan Menunggu Ibu















,

Komentar

Postingan Populer