Cerita Tentang Bapak

"Dini, sudah makan?"
"Dini, pulang kuliah terus kemana?"
"Dini, kok bapak chat gak balas-balas, sibuk apa?"
"Dini, sholat jangan lupa, makan jangan telat"
"Dini, ibu bilang sama bapak, Dini gak balas chat ibu ya ?"
"Dini, kalau pagi bapak sekarang jarang ngopi"
"Dini, ibu marah sama bapak hari ini"
___________

Begitu kira-kira kalau seseorang yang biasa saya panggil "bapak" memberikan kabar melalui chat untuk putrinya. Bapak yang selalu chat malam-malam hanya untuk sekedar menanyakan "sudah makan belum", bapak yang sering menceritakan hal-hal sepele setiap hari yang dijumpai, bapak yang peduli sekalipun jarak masih memisahkan kami, bapak yang selalu menghati kepada buah hati. 

Teman, kalau boleh bercerita, saya sudah pisah rumah dengan ibu dan bapak sejak dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), pisah rumah dengan mereka bukan lantaran mereka sudah pisah bukan, bukan. Namun saya yang memilih untuk merantau semenjak saya memilih untuk merantau semenjak saya memilih masuk di SMP kota. Jarak rumah dengan kota yang harus ditempuh beberapa jam, memaksa saya untuk meninggalkan rumah demi untuk menuntut ilmu. Saya tidak menyesal, karena dari sana saya belajar. Hampir tiap hari, bapak selalu rajin chat walau hanya sekedar basa-basi, namun sata memaknai bahwa itu bentuk kepedulian tulus dari hati. Bapak adalah salah satu energi positif yang saya miliki. Boleh dibilang, kalau di rumah bapak adalah orang yang paling dekat dengan saya. Bapak itu pendengar cerita yang baik. Bapak itu pembuat kopi yang enak. Bapak itu penyayang keluarga dan yang jelas, bapak itu peduli sekali. Saya masih ingat, dulu pas mau berangkat dari rumah ke Jogja, Bapak bilang "kalau di sana hati-hati, itu wilayah orang, di sana jangan cari maksiat, belajar jadi orang yang bermanfaat." Begitu kurang lebih Bapak ngasih wejangan ke saya. Kalimatnya memang sederhana, namun maknanya saya rasa luar biasa.

Semenjak saya memutuskan untuk merantau di Jogja sampai dengan sekarang ini, saya banyak mengalami peristiwa diluar prediksi. Dari penyesuaian diri dengan lingkungan, dari adaptasi sama teman, dari tugas kuliah, dari organisasi dan dari mana saja yang saya coba pelajari. Intinya, semua proses dan ladang belajar untuk saya.

Malam hari itu, tepatnya menjelang tahun baru 31 Desember 2017. Pesan singkat dari bapak membuat saya kepikiran sampai detik saya menuliskan tulisan ini. "Dini, tahun baru kemana? hati-hati Jogja pasti macet." Tutur beliau melalui pesan singkat yang saya terima. Saya membalas beberapa jam kemudian, dikarenakan ada beberapa hal yang harus saya kerjakan sehingga belum sempat untuk cek ponsel. "Dini baru pulang pak, Dini gak keluar ke kota, soalnya macet + ramai." Balas saya. Beberapa menit kemudian, bapak membalas lagi pesan saya, kurang lebih seperti ini,"harapan tahun baru ini apa din? ada target yang belum dicapai tahun ini?" balasnya.
Awalnya saya bingung mau membalas apa, sampai pada akhirnya saya bilang, "Pak Dini pertenggahan bulan Januari pulang, kalau Dini jawab pas sampai rumah gimana pak?". Selang beberapa waktu, bapak membalas dengan balasan yang sudah saya prediksi sebelumnya. "Ya nduk, gakpapa, bapak tunggu." Pungkasnya.

Malam ini, saat saya pulang ke Pacitan sembari ngopi di depan tv, bapak menanyakan kepada saya perihal pertanyaan beberapa waktu silam. Seperti biasa kalau saya pulang dari rantauan, bapak memang berhobi menanyakan hal-hal yang saya lakukan di Jogja. "Dini banyak masalah pak, Dini kadang suka minder, Dini suka berkecil hati lihat teman-teman Dini. Jadi kalau nanyain masalah target yang belum dicapai apa, ya masih banyak pak. Faktor penganjalnya banyak masihan." Tutur saya sembari menyeruput kopi buatan ibu. Singkat cerita, saya memaparkan dengan gamblang ke bapak perihal harapan dan target apa saja yang ingin saya capai di tahun ini. Tebakan saya kali ini meleset, biasanya bapak hanya mendengarkan dan memberikan wejangan ke saya secukupnya. Tapi perihal ini, durasi waktunya cukup lama. Sampai-sampai saya dibawa kantuk mendengarnya.

Sampai di titik ini, saya selalu bersyukur. Saya dianugerahi orang tua yang selalu membumi kepada buah hati. Bapak dan ibu saya bukan orang yang selalu menyuruh saya untuk melakukan ini dan itu. Tapi mereka selalu menjadi jembatan saya untuk selalu mempunyai rencana apa saja yang ingin saya tempuh. Bagi saya itu bukan masalah, yang menjadi masalah adalah saya sendiri. Saya yang memberi masalah dan pulang membawanya untuk dipertanyakan bagaimana cara menghadapi. Seolah-olah itu cambukan bagi diri sendiri, bahwa pada kenyataannya dalam beberapa hal, saya belum benar-benar mandiri. Dan bapak menyadarkan saya. Tempat berpulang dan berbincang paling nyaman dan aman adalah rumah. Tempat peraduan paling tenang adalah rumah. Tempat merindui segala cerita adalah rumah. Tempat ketika ucapanmu tidak didengar oleh orang lain dan bahasamu terlalu meliuk dan melipat adalah rumah. Segala yang berisi dan segala yang berhati tidak salah jika saya menyebut itu rumah. Pertanyaan ringan bapak sewaktu malam tahun baru lalu, membuka banyak hal untuk saya.

Teman, apa yang saya tulis ini sebenarnya sudah pernah saya tulis di laman line pribadi saya satu tahun yang lalu. Namun, tidak ada salahnya apabila saya kembali membagikannya dalam laman blog pribadi. Saya menulis ini bukan berniat untuk apa-apa. Selagi saya bisa berbagi kenapa harus menunggu nanti. Semoga tidak berfikir bahwa tulisan ini penjilat. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapa saya yang berkenan untuk membaca.

Teruntuk bapak tersayang. Terimakasih pak. Mulai saat ini, Dini berbukti, bukan perihal durasi, tetapi kontribusi.


Pacitan, 14 Januari 2018
Ditulis ulang di laman blog pada, 22 November 2018.









Komentar

Postingan Populer